Febriyan Lukito

Terjebak dalam Kenyamanan Kerja? Wajar… Sebuah Sharing tentang Comfort Zone

Tulisan tentang terjebak ini saya posting di milis pada hari Senin (tahun 2011). Sekarang saya post di sini.

Suatu ketika tersebutlah seorang karyawan muda. Belum lama dia bekerja di salah satu bank swasta terkenal di Jakarta. Di sana dia bekerja di bagian yang suasana kerjanya cukup santai. Tak ada deadlline untuk melakukan tugas demi tugasnya. Semua bisa dia pending. Jadi setiap hari dia dapat pulang ‘teng-go’ alias jam pulang langsung absen.

Setiap hari dia lakukan ini. Apalagi ditambah dengan akses internet yang didapatnya, jadi selama jam kerja dia browsing-browsing. Buka FB, twitter, donlot film, dll. Ah… Nikmatnya dia pikir. Karena dia menerima gaji yang cukup besar dan bisa lakukan itu semua. Tidak seperti teman-teman satu angkatannya yang harus lembur, dll.

***

Nikmat bukan sepenggal kisah di atas? Bagaimana jika terjadi pada Anda? Uih.. Rebutan kali ya. Ingin sekali seperti karyawan itu. Termasuk saya… Hahahahahaha.

Tapi pasti banyak karyawan yang ingin kerjanya seperti itu. Gaji besar. Pekerjaan boleh dikata hampir tidak ada. Santai. Seperti kerja di rumah sendiri.

nyaman - comfort zone hingga terjebak
Kenyamanan yang membuat banyak orang TERJEBAK

Tapi…
Tahukah Anda?
Bahwa semua itu sebenarnya pembodohan terhadap diri Anda.

Iya. Pembodohan besar-besaran. Kenapa?

Karena Anda membuang kemampuan Anda yang jauh lebih besar dari hanya seperti itu.

Kemampuan Anda, saya yakin – sama yakinnya seperti Einstein saat mengatakan bahwa manusia hanya menggunakan 5% otaknya, jauh lebih besar dan jauh dapat menghasilkan yang lebih. Dari sisi gaji, jabatan, dan lainnya.

Tapi Anda terpaku pada apa yang menyenangkan saat ini. Apalagi jika Anda baru pertama kali kerja. Ah sungguh memabukkan hingga lama-lama terjebak dalam kenyamanan itu.

Yah..begitulah memang sifat dari Comfort Zone. Menyenangkan dan memabukkan sehingga membuat kita terlena.

Tentang Comfort Zone yang Membuat Kita Terjebak

Kemarin saya berbicara dengan salah seorang teman kuliah saya. Kami berbicara tentang pekerjaan kami. Dia sudah pernah pindah kerja. Padahal pekerjaannya dulu seperti yang saya gambarkan. Santai. Banyak waktu luang, dan lain-lain.

Tapi dia pindah ke kantor yang waktu kerjanya sungguh luar biasa sibuknya. Pekerjaannya seperti tak ada habisnya. Bertolak belakang dari yang sebelumnya itu. Ketika ditanya kenapa pindah dia tentunya akan menjawab karena gaji.

Tapi sebenarnya di balik itu, dia merasa dibodohi. Setiap hari seperti itu, dia merasa tidak menggunakan kemampuannya secara maksimal. Dia merasa masih banyak yang bisa dia lakukan. Much much more. Karena itulah dia pindah.

Berani keluar dari Comfort Zone.

Itulah yang dia lakukan. Dan hasilnya, selain gaji lebih besar, dia memiliki pengalaman luar biasa. Sekarang dia berhasil memantapkan dirinya menjadi orang yang dapat diandalkan dalam beberapa bidang.

Tentang Tantowi Yahya dan Comfort Zone

Hal seperti itu pula yang mendorong seorang Tantowi Yahya berani berpindah-pindah profesi berkali-kali. Dengan motivasi utama meninggalkan kemiskinan yang dialaminya sejak kecil, dia berpindah kerja walau posisinya sudah cukup oke dan menerima kerja dengan gaji jauh di bawah.

Dan saat posisinya kembali meningkat dia meninggalkannya dan memulai karir di bidang entertain. Dan saat menjadi MC dengan bayaran termahal pun dia meninggalkannya dan menjadi anggota DPR.

Comfort Zone baginya hanyalah sebuah mimpi memabukkan. Dia meyakini bahwa dirinya mampu menghasilkan lebih dari yang ada sekarang ini. Bisa menggapai lebih.

Dengan keyakinan itulah dia meninggalkan kenyamanan yang membuatnya “terjebak” itu berkali-kali dan akhirnya dia sukses seperti sekarang ini.

Bukan Meracuni – Hanya share Rasa Terjebak ini aja

Kawan,
Saya tidak berusaha meracuni kalian untuk meninggalkan kerja dan lepas dari Comfort Zone dengan tulisan ini.

Tulisan ini saya buat hanyalah sebagai cara saya sharing atas apa yang saya dapatkan. Saya pribadi saat ini sedang memasuki comfort zone yang sangat memabukkan. Dan tulisan ini sebenarnya juga sebagai pengingat bagi saya untuk menyadarinya. Agar tidak terlena.

Dan pesan saya adalah jika ingin meninggalkan Comfort Zone itu, kita pun harus punya taktik dan juga rencana. Tidak blasss begitu saja. Harus punya strategi.

NB:
Saya mohon maaf atas kesalahan dalam penulisan dan saya, sekali lagi, hanyalah belajar dalam menulis ini. Mohon maaf jika ada kekurangan dan ditunggu kritik dan sarannya.

Exit mobile version