Febriyan Lukito

Can You Smell Yourself

Yes. We have to choose. For they, who we love, their future.

That guy is so smelly. I can’t stand it anymore, so I run away. 

Kita menutup mata dan telinga ketika hal itu mengganggu diri kita Tapi kita membuka mulut kita untuk orang lain
Kita menutup mata dan telinga ketika hal itu mengganggu diri kita
Tapi kita membuka mulut kita untuk orang lain

Pernah gak mengalami ketemu dengan seseorang yang rasanya bau banget. Mungkin yang pengguna angkutan umum sering ya, apalagi saat jam pulang kantor. Bercampur baur dah semuanya tuh. Keringet ditambah semprotan-semprotan menyengat yang sengaja menutupi bau itu.

Tapi, pernah gak terpikir, diri saya sendiri bau gak ya? Nah… Ini yang agak unik menurut saya. Kenapa? Karena seringkali (bahkan hampir semua orang di setiap kesempatan), tidak dapat merasakan bau badannya sendiri. Bener gak? Coba deh sekarang angkat ketek tinggi-tinggi dan cium. Bau gak?

Kecuali kalau lagi bau bajunya ya yang biasanya karena kurang kering langsung diseterika gitu (musim hujan biasanya nih). Kalau kata mama saya sih bau baju demek. Paling gak enak kan ya bau kayak gitu.

Nah ada hal yang menarik saat saya browsing mengenai bau badan sendiri. Jadi menurut beberapa artikel yang ada bahwa indera penciuman kita itu sudah menyesuaikan dengan badan diri kita sendiri. Makanya kita tak bisa mencium bau diri kita sendiri. Ada satu artikel yang memuat tips bagaimana membaui diri sendiri. Bisa dibaca di link Wikihow ini.

WHY

Satu yang melintas dalam benak kalau baca ini pasti: kenapa sih ngebahas masalah ini? Ya bagi saya hal ini unik aja dan memang kenyataannya seperti itu kan ya? Tapi saya ingin lebih membahas mengenai diri pribadi secara keseluruhan sih daripada bau badannya itu.

Begini, dalam hal menilai diri sendiri, terutama mengenai kekurangan-kekurangan kita sendiri, kita cenderung menggunakan prinsip yang sama dengan indera penciuman kita. Coba deh pikir lagi, seberapa mudah sih kita melihat kesalahan orang lain dibanding kesalahan diri kita sendiri? Seberapa mudah kita menunjukkan kekurangan dari orang lain daripada kekurangan kita sendiri? Lebih mudah kan?

Sepertinya memang kita mengembangkan satu mekanisme defense dalam diri kita, tepatnya pikiran kita, hingga yang namanya kesalahan dan kekurangan pribadi itu seakan menghilang dari pandangan kita sendiri. Kita menutup mata kita dari kondisi ini dan akhirnya cenderung menganggap diri kita sudah jadi yang terbaik.

HOW

Memang sakit mendengar kritik, tapi kalau hasilnya indah dan manis nanti? Kenapa gak?

Lah terus gimana dong kalau kayak gitu? Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah meminta teman yang kita percaya, yang mau dan mampu mengkritik kita, untuk menilai. Seperti yang Mba Ollie sebut dalam tips menulis dalam bahasa Inggris saat BEC Meet Up lalu, Minta masukan dari teman yang berani mengkritik. Bukan yang hanya bilang: “ok kok, gak apa.” Seperti dalam kisah yang diceritakan ulang dalam Whiplash oleh Fletcher. Kita perlu kritikan itu untuk bisa lebih baik lagi. Kita perlu di-whip. 

Nah kalau sudah meminta teman untuk itu, satu hal yang penting kita lakukan adalah bersiap diri. Siap dengan semua kritikan, mendengarnya dan kemudian menerapkannya jika dirasakan perlu. Nah kata-kata saya “dirasakan” jangan disalahartikan ya. Harus diartikan – memang harus dilakukan jika lebih dari 1 (satu) orang mengatakan hal yang sama. Jangan lagi berdasarkan “ah saya gak gitu kok” – ini defense kembali yang bicara.

Lepaskan EGO saat menerima kritikan, KOSONGKAN CANGKIR ketika mendengar dan belajar. Inilah yang harus dilakukan. Lupakan semua yang pernah kita terima dan resapi yang baru.

Nah… kalau sudah meminta masukan dari teman dan menerapkan seperti yang saya bilang, mudah-mudahan hal itu akan menolong kita untuk jadi lebih baik lagi. Tapi pertanyaan paling awal yang harus dijawab adalah: “Apakah kamu siap menerima kritikan?”

Exit mobile version