Site icon Febriyan Lukito

Bali… I’m Coming

“OIIIIII Bobby… dah siap belum. Lama banget sih…. Dandan kayak cewek aja.” Teriakan melengking seperti anjing dipukul khas Winda memecah konsentrasiku bersiap diri. Hari ini adalah hari bersejarah bagiku, tentu saja aku bersiapnya agak lama.

Setelah sekian lama… akhirnya impianku menginjakkan kaki di Pulau Dewata itu akan menjadi kenyataan. ‘Saya berterima kasih paling utama tentunya kepada Tuhan atas kesempatan ini, kedua orang tua yang telah mendukung saya hingga dapat berada di tempat ini serta tentunya tak lupa berterima kasih kepada maskapai yang telah memungkinkan saya terbang ke tempat ini – memang cocok slogan Everybody can fly disandangnya.’ Kira-kira seperti itulah pidato kemenangan saya jika ada yang bertanya kepada siapa saya berterima kasih saat menginjakkan kaki saya di sana.

Saya teringat kisah yang diutarakan oleh salah seorang kawan saya beberapa waktu lalu. Bagaimana dia menikmati senja di Pantai Kuta, walaupun seorang diri, namun nuansa romantis dan penuh kehangatan tetap dia rasakan. Apalagi ditambah dengan sepasang earphone yang mengalunkan lagu “To Build a Home” soundtrack itu tuh, film Step Up 4.

Ditambah lagi cerita dia tentang Bluepoint Beach yang airnya sangat indah dan menerawang. Walaupun untuk menggapai pantai itu perlu perjuangan, tapi dibandingkan dengan Dreamland yang sudah mulai ramai, pantai ini sungguh menakjubkan. Dan bagaimana dia duduk di tepi salah satu resto di sana yang mengarah ke pantai langsung, dengan sebuah kelapa muda siap memuaskan dahaga.

‘Akhirnya… aku bisa ke sana… tak kalah denganmu!’ seringaiku seraya memasukkan pakaian terakhir dalam backpack yang akan kubawa. Memang sengaja aku tidak membawa banyak pakaian, aku tidak mau direpotkan dengan bagasi yang berlebihan.

“OIIIII BOBBBBBYYYYYY…” teriakan Winda kembali memecah keheningan rumah kostku itu. Untungnya semua penghuni sedang berlibur, kalau tidak, pasti Winda sudah jadi bulan-bulanan.

Aku segera keluar kamar kostku dan segera berlari menemuinya.

“Siap nyonya… gak sabaran banget sih.” Winda menjawab ucapanku dengan cemberut di wajahnya yang bulat.

“Lama amat sih… bisa telat nih. Dah siap semua belum?” tanyanya seraya menarik backpack yang akan dibawanya.

“Iya… udah, ayo jalan.”

Kami pun melangkah menuju jalan raya yang tak seberapa jauh dari rumah kostku itu. Winda berlari begitu sampai di pinggir jalan, awalnya aku bingung, tapi kemudian aku melihat ada bus yang dikejarnya. Aku pun segera berlari menyusulnya, tidak ingin tertinggal dalam perjalanan impianku ini.

Aku dan Winda berhasil mendapatkan tempat duduk di belakang supir. Segera setelah membayar ongkos bus itu, Winda mengeluarkan sebuah buku tebal berwarna oranye menyala dengan gambar seorang pria kurus berkacamata. Sebelum membaca buku itu, dia menoleh ke arahku.

“Tidur aja dulu. Lumayan perjalanannya. Kira-kira sejam. Ntar dibangunin kalau udah sampai. Apalagi jalan ke Kampung Bali biasanya macet, jadi lumayanlah kalau tidur.”

“Macet????” tanyaku heran. Masa sih penerbangan juga macet?

“Iya… macet…. Jalanan yang dipenuhi kendaraan yang tak bisa bergerak karena pedagang mengambil jalanan untuk berdagang.”

“Jalanan??? Kita ini bukannya mau ke Bali?”

“Iya… Bali. Kampung Bali. Di Tanah Abang.” Jawab Winda dengan santai dan kemudian melanjutkan membacanya.

Aku hanya terdiam mendengar ucapan Winda, yang memang mengurus semua masalah perjalanan yang kupikir ke Bali – Pulau Dewata ini.

 

Total kata: 494. Dibuat untuk MFF #36. Mudah-mudahan masuk tema.

Exit mobile version