Site icon Febriyan Lukito

Sebuah Pembelajaran Hidup

 

Di salah satu blog yang saya ikuti (Dunia Ely), sedang ada penulis tamu (namanya Raf) yang menulis tentang This Too Shall Pass. Sebuah kalimat yang memang sudah saya kenal dan membuat saya tergelitik untuk membaca posting tersebut. Dan ternyata, sebuah tulisan yang bagus untuk dibaca dan direnungkan.

Dari sana, saya komentar kepada si penulis dan akhirnya kami berlanjut saling menjawab komentar. Sampai akhirnya dia mengangkat tema Lao Tze dalam jawaban komentar saya. Dan berikut saya copy komentar darinya mengenai Lao Tze yang dipakai olehnya sebagai salah satu pegangan hidupnya.

Lao Tze pernah berkata:

“Lihatlah alam semesta dan ambillah pelajaran darinya. Bagaikan matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi, tak perduli apakah di hari ini langit cerah tanpa awan tebal atau di lain hari awan tebal menutupi jalan cahayanya. Ia tak pernah merasa terganggu dengan pujian dan cacian manusia apabila sinarnya terlalu berlebihan atau kurang demi memenuhi kepentingan mereka masing-masing. Bagaikan aliran air yang selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah tidak peduli pujian dan cacian dari manusia, entah manusia akan menganggap air itu sebagai berkat karena bisa mengairi sungai dan menambah volume air sumurnya, atau menganggapnya sebagai musibah karena datang dengan debit yang besar dan menjadi banjir bandang yang melanda pemukiman penduduk. Itulah kodrat alam yang melekat di dalam dirinya. Demikianlah seorang bijak yang menebar kebajikan, ia berbuat seolah-olah tidak berbuat. Karena tidak ada motivasi untuk mendapatkan pahala dari kebajikan itu, dan ia hanya meneruskan apa yang alam berikan kepadanya dalam kesewajaran. Inilah yang disebut wu-wei yakni jalan tiada berbuat.”

Hal senada termaktub dalam Sutra Intan. Dalam mitologi Buddhisme Cina, konon Sutra Intan inilah yang dicari oleh bikshu Tong dan Sun Go Kong cs dalam kisah Perjalanan ke Barat.

Sutra Intan mengisahkan tentang wejangan Buddha Gautama kepada Bodhisattva Subuthi mengenai perbuatan bajik. Yakni ketika seorang bodhisattva (seorang yang telah hati dan pikirannya terarah kepada spiritualitas dan cita-cita altruistik), melakukan tindakan kebajikan, maka sang bodhisattva itu hendaknya selalu mengingat faktor-faktor ini:

Ketika faktor subyek, verbal, obyek, dan keterangan sudah dihapuskan, maka tidak ada lagi kalimat. Ketika tidak ada kalimat, mana ada logika yang melogikakan kekosongan kata itu? Ketika tidak ada lagi kalimat-kalimat yang merangkai suatu jalan cerita kehidupan untuk dijalani, maka tidak ada lagi penderitaan. Itulah moksa, itulah nibanna, inti dari semua ajaran spiritualisme timur sepanjang pemahaman saya…

Saya sebagai seorang pemeluk agama Buddha sangat kagum dengan pemahaman yang bersangkutan dan benar-benar mengacungi jempol padanya. Karenanya seijin ybs, saya posting komentar dia ini, yang menurut saya sangat bagus untuk dibaca oleh semua orang.

Hidup ini memang sangat indah dan memberi banyak hal untuk kita pelajari. Itulah yang perlu kita lakukan dari waktu ke waktu. Belajar dari hidup (termasuk alam kita) dan juga berbagi dengan sekitar kita, baik dengan uang, tenaga, waktu, dan salah satunya saya ingin berbagi dengan tulisan ini.

Terima kasih banyak untuk Raf telah berbagi dan mengijinkan saya untuk memuat tulisannya di komentar dalam post saya ini. Sekali lagi, salam kenal dari saya.

Exit mobile version