Febriyan Lukito

Review – Supernova (the Movie)

Supernova - gambar dari 21cineplex.com
Supernova – gambar dari 21cineplex.com

Okay… ini adalah salah satu alasan saya membeli buku koleksi Supernova (seperti yang saya sebut dalam postingan beberapa waktu lalu ini). Ngebut baca semuanya dan kemudian menonton saat film ini keluar di bioskop. Namun, akhirnya saya pun menonton bukan pada gelombang-gelombang awal launching film ini. Baru bisa minggu lalu, tepatnya hari Jumat di Grand Indonesia. Dan sebelum menonton, saya sempat membaca beberapa review atas film ini, termasuk yang dituliskan oleh teman saya di path. Dia bilang, lebih baik menonton PTE daripada film ini. Semakin penasaranlah saya.

Kok bisa sih dibilang seperti itu? Seburuk itukah? Seperti biasa, walaupun dah ada hasil baca review-an beberapa orang, saya tetap menonton dengan pikiran “kosong”. Dan hasilnya??? Ya di bawah ya hasilnya… tapi sebelumnya, saya copas dulu dari web untuk sinopsisnya.

Washington D.C.  Hentakan lembut music trance yang  mengalun dalam sebuah pesta  di rumah mewah mempertemukan Reuben dan Dimas, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Amerika.  Malam  itu  keduanya  berjanji;  Bahwa suatu hari mereka akan menulis sebuah buku, sebuah cerita  roman sains  yang menggerakkan hati  banyak orang.  Kisah tentang Kesatria Puteri dan Bintang Jatuh.

Jakarta, dari sebuah kantor eksekutif, sebuah wawancara mendadak antara  Ferre seorang eksekutif muda, kaya, pintar dan terkenal; Dan Rana, wakil pemimpin redaksi majalah wanita  papan atas di Indonesia; mengubah jalan hidup keduanya.   Wawancara langka  penuh kejujuran tentang, cinta, pengorbanan, dan kebebasan . Obrolan manis penuh hentakan denyut jantung dan tatapan yang amat dalam, bahkan terlalu dalam bagi Ferre dan Rana. Keduanya  jatuh cinta.

Rana telah bersuamikan Arwin seorang pengusaha dari keluarga terkenal dan terpandang di Jakarta. Laki-laki pilihan Rana setelah seluruh keluarga besarnya mendukung, betapa Rana beruntung jika menikah dengan Arwin dan betapa Arwin adalah pria pilihan keluarga yang pantas dinikahi  dan dibanggakan.

Kisah indah  Ferre dan Rana berlanjut dan semakin dalam. Bagaikan Kesatria dan Puteri di kerajaan cinta. Keduanya mabuk dalam cinta yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.  Ferre dan Rana tidak bisa lepas dari kekacauan  cinta terlarang yang terasa benar, dan keteraturan  kehidupan pribadi rumah tangga Rana dan Arwin yang  baik-baik saja, tetapi terasa salah.

Diva, seorang model papan atas  tiba-tiba muncul dalam kehidupan Ferre. Dengan segala kekacauan dan keteraturan semesta, dibawah malam penuh bintang dan kelebat bintang jatuh;  Diva hadir.   Anehnya  ternyata selama ini  Diva tinggal di cluster yang sama dengan Ferre, bahkan rumah mereka saling berhadapan.

Reuben dan Dimas, Ferre, Rana, Arwin dan Diva, akhirnya  bertemu tanpa saling mengenali satu sama lain dalam sebuah blog agresif,  puitis, romantis,  fenomenal bernama Supernova.

Kisah mereka meledak bersama Supernova.

Sinopsis diambil dari 21cineplex.com

Secara saat baca sinopsis sih gak beda dari bukunya ya… Tapi pas menonton?

Dimulai dari pembukaan film ini. Satu yang baru saya sadari saat pembukaan film adalah penulis naskah adalah penulis buku 5 cm, Donny Dhirgantoro. Bukan… bukan saya tidak suka dengan dia (buku 5 cm adalah salah satu buku yang saya suka), tapi jadi berpikir, kok bisa seperti ini. Penulis naskahnya adalah penulis buku 5 cm, dan kebanyakan pemainnya adalah juga pemain 5 cm. Ada apa gerangan?

Kemudian, bagi kita-kita yang sudah membaca bukunya dan kemudian baru menonton film ini, akan membandingkan tentunya. Apa yang ada dalam buku dengan film, sama seperti film-film lainnya, seperti LOTR, Harry Potter, Rectoverso, Madre, dll. Dan itulah yang saya lakukan saat menontonnya.

Kekurangan

Adegan diawali dengan pertemuan Reuben dan Dimas dan kemudian berjanji bahwa 10 tahun lagi, mereka akan menulis sebuah buku fenomenal. Saya sendiri kurang menyukai adegan di mana Reuben dan Dimas dalam keadaan “fly” yang digambarkan dengan puluhan merpati yang terbang. Oke, saya memang gak da pengalaman nge-fly, tapi dalam benak saya pas baca sih gak seperti ini visualisasinya. Yah, ini pendapat saya ya.

Kemudian tokoh demi tokoh dalam tulisan mereka dimunculkan. Ferre, Rana, Arwin, dan juga Diva. Ferre adalah sosok pengusaha sukses yang benar-benar sukses dari bawah, bukan sukses karena cipratan keluarganya. Inilah yang menjadi kunci awal di buku. Dalam benak saya, sosok Ferre dalam film ini sangat-sangat tidak mewakili sosok Ferre yang dituliskan. Sosok pengusaha namun juga puitis. Saya tidak bisa membayangkan wajah kaku dari Herjunot yang puitis.

Kemudian Rana – yang diperankan oleh Raline Shah (yang menurut Mas Dani tuh cuantik banged…) adalah sosok wanita karier yang juga sukses karena usahanya namun memilki kegalauan dalam hatinya. Galau karena tidak memiliki hidup seperti yang diinginkannya. Menikah dengan Arwin (Fedi Nuril) yang dijodohkan oleh orangtuanya telah “mengekang” hidupnya. Kegalauannya inilah yang saya kurang tangkap dalam film ini. Masih kurang. Sedangkan Arwin – mengingatkan saya pada sosok Genta dalam 5 cm. Bukan Arwin seorang suami yang juga galau karena istri yang sangat dicintainya selingkuh. (ini kok saya pakai kata galau mulu ya…)

Dan terakhir adalah Diva…. Sosok Diva dalam buku dan film sangat-sangat bertolak belakang. Okay… saat awal kemunculan dia, saya ok. Gapapa kok kalau dia. Namun… Diva, sang model dengan kepintaran luar biasa dan memiliki kebebasan luar biasa terhadap hidupnya sebagai si Bintang Jatuh, tidak terlihat di sini.

Adegan di mana Ferre mengalami depresi dan kemudian hampir bunuh diri tapi kemudian justru mengalami pencerahan, digambarkan dengan terjunnya Ferre ke dalam ruang gelap. Adegan ini seharusnya bisa digali lebih dalam. Tidak perlu benar-benar terjungkal dalam gelap dengan visualisasi buatan seperti dalam film ini. Bisa saja dibuat dalam kekalutan pikiran dan adegan monolog Ferre. Namun tidak, yang dipilih adalah visualisasi masuk dalam jurang hitam yang mengingatkan saya sinetron-sinetron lebay di tv.

Satu yang saya suka dalam buku adalah bagaimana Rana berpikir ulang mengenai dirinya. Dari masa kecilnya hingga terperangkap dalam kondisi sekarang ini. Ini yang tidak juga saya dapatkan dalam film. Memang ada adegan itu, tapi masih kurang mengena. Adegan ini seharusnya menjadi titik balik dari sosok Rana yang tegar menjadi Rana yang menggalau.

Yang OK

Ya memang ada beberapa hal bagus dari film ini. Yang saya suka adalah animasi dongeng Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Animasi ini bagus menurut saya. Tidaklah kalah dengan animasi-animasi luar (walau masih dalam 2D – di saat yang lain sudah 3D).

Kemudian lokasi. Beberapa adegan diambil di daerah Bali sepertinya. Lokasi ini memang sangat keren. Pengambilan gambar oleh sutradara juga ciamik. Ini menjadi nilai plus dari film ini.

Secara keseluruhan, saya memberi film ini 2,5 dari 5 (ampun deh ya). Saya sendiri tidak heran kalau film ini segera tersingkirkan oleh film-film lain yang beredar saat ini. Film ini boleh dikata mengingatkan saya pada 5 cm. Reuni para pemain 5 cm, walau tidak lengkap ya…

Dan pertanyaan penting adalah….

Kemana GIO??? Gio memang hanya ada dalam satu adegan di bukunya. Tapi apakah tidak menyadari bahwa di buku-buku berikutnya Gio akan memegang peranan penting?

Kenapa endingnya seperti itu? Mau di bawa ke manakah film ini olehmu wahai sutradara, penulis script dan produser? Apakah sudah membaca seluruh bukunya hingga Gelombang?

Exit mobile version